Hari ini aku sengaja bangun pagi-pagi sekali. Yup.. hari ini
aku sengaja bangun pagi-pagi sekali karena aku ingin membuatkan kue kesukaan
Tito, cupcakes coklat dengan taburan keju kering diatasnya. Aku membuatkan
cupcakes untuknya karena hari ini adalah hari valentine. Seminggu sebelum hari
valentine dia memberikanku rahasia bahwa di hari ulang tahunnya itu dia akan
menyatakan perasaannya kepada seseorang yang sudah lama ia incar. Ia akan
menyatakan hal itu ketika jam pulang sekolah, di taman depan gedung sekolah. Ia
juga akan memamerkan permainan bass-nya saat itu. Sudah lama aku menunggu
hari-hari seperti ini. Orang yang sudah lama aku sukai ternyata membalas
perasaanku dengan hal yang sama. Selama hampir 3 tahun kami bersahabat akhirnya
hari inilah dia akan menyatakan perasaannya.. kepada.. entahlah.. tapi aku
berharap dan sangat-sangat berharap dia menyatakan perasaannya kepadaku.
Aku melihat Tito
yang sudah datang lebih dulu. Ia sedang membicarakan sesuatu dengan Anas, si
kutu buku yang duduk di bangku depanku, lalu ia menoleh ke arahku dan
memberikan senyum paling manisnya kepadaku. Saat itulah rasanya duniaku
dipenuhi dengan bunga-bunga bermekaran. Aku menarik napas dalam-dalam. Berjalan
dengan tenang menuju bangku. Aku
meletakkan tas ku diatas meja tapi aku masih tetap berdiri di sisi bangku.
Memandang Tito yang sedang berbicara ringan dengan Anas. Dan.. ia terlihat
sangat.. tampan.. Sampai aku tersadar bahwa mereka sedang menatapku dengan
tatapan bingung.
“Mitha? Mitha? Hey!”, sambil menggerak-gerakkan tangannya ke
depan wajahku. Aku sadar dan malu setengah mati. Aku berharap pipiku tidak
berubah menjadi merah saat itu. “Kau kenapa?”, tanyanya lagi dengan suara
lembut. ”Oh.. tidak, tidak.. aku… Aku… Mengapa pula aku harus menjelaskannya
kepadamu?”, jawabku. “Dan… ini… selamat hari valentine Tito.. aku berharap kau
menyukainya..”
“Wow.. kau sungguh membuatnya untukku. Terimakasih Mitha!.
Aku pasti menyukainya, karena aku tahu cupcakes buatanmulah yang membuatku melambung
tinggi..”
“Kau berlebihan.. cupcakes buatanku sama seperti yang lain..
Ngomong-ngomong aku sudah tidak sabar menunggumu menyatakan cintamu kepada
seseorang. Kau bisa mengatakannya padaku?”, tanyaku sambil duduk di bangku di
samping Tito. “Kau akan tahu nanti..”, jawabnya. Lalu pergi keluar kelas. Aku
menundukkan kepala.
“Apakah menurutmu dia akan menyatakan perasaannya kepadamu,
Mitha?”, tanya Anas. “Entahlah..”, jawabku pelan tetap menatap meja. “Menurutku
dia menyukaimu..”. Aku tidak membalas kalimat Anas yang terakhir karena saat
itu bel pertanda jam pelajaran akan dimulai berbunyi.
Seluruh siswa
kelas dua belas sudah berkumpul di taman depan gedung sekolah yang luas. Mitha
mengambil posisi paling depan agar Tito dapat melihatnya. Musik-pun mulai
mengalun dan Tito memainkan bass-nya dengan penuh penghayatan. Sampai akhirnya
permainan bass-nya selesai, dan inilah saat yang paling ditunggu Mitha.
“Pada siang hari
ini aku akan menjelaskan semua yang aku rasa. Aku sudah lama memendam perasaan
ini namun sekaranglah saat yang tepat… Jemarinya yang indah membuat hatiku
gundah, seperti ingin menggubahkan seribu lagu untuknya. Pipinya yang manis
membuat hatiku tergelitik, seperti ada sesuatu yang menari-nari dalam
perutku..”, katanya dengan penuh perasaan yang mendalam. “Dan sekarang aku
ingin menunjukkan kepadanya bahwa..”
Jantung Mitha semakin berdegup tidak karuan. Kedua tangannya
menutupi mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya yang kian melebar. Hingga
akhirnya…
“Livia VanDerson, maukah kau menjadi kekasihku?”
Kata-kata yang baru saja diucapkan Tito seakan membakar
senyum yang tersungging di bibir Mitha dan berganti dengan genangan air di
sekitar kelopak matanya. Dengan melangkah mundur, Mitha meninggalkan kerumunan
siswa yang sedang bersorak menyambut Livia yang maju mengampiri Tito dan memegang kedua tangannya. Semua itu
membuat Mitha seperti tercekik. Ia berlari menuju kamar mandi dan menangis
disana.
Sampai dirumah ia
langsung berlari ke kamarnya dan membuka buku diary-nya. Menorehkan semua yang
ia rasakan pada hari itu kedalam buku diary-nya. Membiarkan air matanya jatuh
membasahi goresan tinta di buku
diary-nya. Menceritakan tentang bagaimana perasaan yang ia pendam selama ini
ternyata bertepuk sebelah tangan. Menumpahkan kepedihan yang hinggap di hatinya
pada hari itu. Hari dimana Tito dan
Livia resmi menjadi pasangan kekasih yang sedang menjalin cinta.
Tiga bulan
kemudian adalah hari dimana kelulusan dimulai. Mitha berhasil meraih angka
tertinggi dalam ujian. Ia sudah merencanakan bahwa ia akan meneruskan
sekolahnya di New York dan tinggal bersama ayahnya. Sementara Tito masih tetap
melanjutkan sekolahnya disini.
Sehari sebelum
keberangkatan Mitha ke New York, Tito berkunjung kerumahnya. Ketika akan pergi
ke kamar mandi ia tidak sengaja melihat kamar Mitha dalam keadaan pintu yang
terbuka lebar. Tito mengintip sejenak kamar Mitha karena selama ini ia
samasekali belum pernah melihat-lihat kamar Mitha. Seketika ia dibuat takjub
dengan apa yang dilihatnya. Di dinding dekat kasur Mitha ia melihat sebuah
tulisan yang dibuat dari karton putih yang dibentuk menyerupai permainan
“scrabble” bertuliskan I Love You More Than Cupcakes. Saat itulah Tito
menyadari bahwa selama ini Mitha sengaja menyembunyikan perasaannya terhadapnya.
”Sekarang kau
mengetahuinya, bukan?”, suara Mitha yang tiba-tiba muncul di belakang Tito.
”Mitha aku… aku
minta maaf..”, kata Tito sedikit gugup.
”Kau tidak usah
khawatir… aku merelakan semuanya..”, jawabnya dengan nada lembut.
”Tapi..”
”Aku akan
baik-baik saja..”
”Tapi apakah…”
”Aku bahagia Tito,
selama kau juga bahagia.. Karena kau sahabat terbaik yang pernah kutemukan
sepanjang masa..”, jawab Mitha yang memotong perkataan Tito.
“Apa yang bisa
kulakukan untuk menebus kesalahanku?”, tanya Tito agak ragu sambil menatap mata
Mitha.
”Kau tidak
bersalah. Tidak ada yang bersalah. Tapi.. sebelum aku berangkat ke New Tork,
aku ingin kau mengabulkan permintaanku..”
“Apapun..”
“Berjanjilah bahwa
kau tidak akan pernah melupakanku. Berjanjilah bahwa kau tidak akan pernah
meninggalkanku..”, “Dan berjanjilah bahwa kau akan setia menjadi sahabatku..
selamanya..”,tambahnya sambil memegang kedua bahu Tito, berusaha menahan air
mata yang mulai memburamkan penglihatannya, berusaha melupakan masa-masa dimana
ia menyaksikan Tito dan Livia resmi menjadi pasangan kekasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar